Jumat, 09 November 2012

ARTIKEL


Pendidikan, Orang Miskin Silakan Minggir!
SESUAI ketentuan regulator pendidikan (kemendiknas dan pemda) bahwa pendidikan di tingkat sekolah dasar bebas uang sekolah alias gratis, tetapi di lapangan tidak bebas dari pungutan.Sudah jadi rahasia umum bahwa orang tua (ortu) murid selalu dikenakan ketentuan biaya tambahan dengan dalih macam-macam. Memang pungutan itu secara resmi ditentukan secara musyawarah melalui komite sekolah atau persatuan ortu murid, tetapi semangat yang dibangun dalam pertemuan itu adalah berupaya mencari pemasukan dari semua ortu.Pendidikan yang baik memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi dalam musyawarah itu selalu saja membebankan biaya kepada ortu dan tidak pernah secara kreatif mencari sumber-sumber dana lain seperti kerjasama dengan pihak industri. Jika kegiatan ini dilakukan tentu tidak akan banyak membebani ortu, terutama mereka yang kurang mampu membayar pungutan.Bukan rahasia umum lagi bahwa dunia pendidikan kita sangat mudah dijadikan obyek bisnis bagi sebagian orang. Ini terlihat mulai dari menjamurnya bimbingan belajar (tes), uang masuk sekolah yang selangit, hingga digantinya buku-buku pelajaran dengan yang baru.Semua itu tentu menjadi beban murid (orangtua) unruk membelinya. Pihak sekolah atau Kementerian Pendidikan seolah menutup mata akan beban orang tua atas biaya cukup besar saat mereka memasukkan 'buah hatinya' ke sekolah.Sekolah seolah menutup telinga atas berbagai 'teriakan' dan keluhan orang tua terhadap banyaknya punglimi (pungutan liar tapi resmi) itu. Seperti biasa tentu pemangku kebijakan dan pihak penyelenggara pendidikan selalu siap dengan berbagai dalih jitu yang dapat dianggap sebagai pembenaran munculnya 'proyek' bisnis tersebut.Alhasil, masyarakat miskin di negara kita makin trauma dan stres jika memasukkan anaknya ke sekolah karena biaya yang terus membengkak.Kurangnya empati terhadap penderitaan rakyat merupakan fenomena yang (sudah biasa) terlihat pada sebagian kalangan berkuasa di negeri ini (pejabat) tatkala mengeluarkan kebijakan yang tidak bijak itu. Inilah pemandangan yang akrab kita lihat di berbagai sektor kehidupan.Semua sektor kehidupan di masyarakat pun akhirnya nyaris ikut meniru atau 'mengcopy paste' nyaris sempurna mentalitas buruk si penguasa yang tidak empatik tersebut. Jadilah, sektor pendidikan melalui kalangan yang memiliki wewenang "mengatur" kegiatan pendidikan turut berperilaku tidak empatik atas penderitaan rakyat miskin.Lebih jauh lagi,anggota komite sekolah yang berasal dari unsur orang tua umumnya berasal dari status sosial ekonomi menengah ke atas biasanya juga ikut-ikutan menyetujui apa yang diajukan pihak sekolah. Lengkaplah sudah sikap dan perilaku yang tidak memihak rakyat miskin dalam dunia pendidikan kita.Penyelenggaraan pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai amanah konstitusi RI kita, seakan dibiarkan "go public" alias mengikuti selera pasar bak pebisnis memanfaatkan peluang bisnisnya. Inilah salah satu efek dari apa yang dinamakan tata pandang neolib dalam pendidikan suatu paham yang membiarkan pendidikan mengkuti mekanisme pasar bebas. Pendidikan kita sangat kapitalistik, mereka mengandalkan dana, modal, uang atau kapital.Orang kaya silakan maju dan menikmati pendidikan, orang miskin silahkan mundur dan tergusur. Inilah kondisi runyam pendidikan kita dewasa ini yang tak patut dijadikan contoh bagi generasi penerus pemerintahan.







Karut Marut Dunia Pendidikan
Beberapa permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan di Indonesia, antara lain tuntutan dari guru berstatus honorer untuk diangkat menjadi CPNS dan dugaan terjadinya komersialisasi pendidikan. Berlarut-larutnya penyelesaian masalah ini berpotensi untuk dipolitisasi kelompok tertentu dalam rangka mendiskreditkan pemerintah.Aksi unjuk rasa kalangan guru honorer menuntut pengangkatan sebagai CPNS terjadi di beberapa daerah. Di depan Kantor Badan Kepegawaian Negara (BKN), Jakarta, sekitar 75 orang dari Komite Guru Bekasi (KGB) dipimpin Muhlis Setia Budi melakukan unjuk rasa pada akhir tahun 2011 dengan tuntutan pengangkatan 80 ribu guru honorer menjadi PNS. Sebelum membubarkan diri, massa sempat melakukan aksi blokir jalan dan melemparkan telur busuk ke depan Kantor BKN.Sebelumnya, di depan Kantor BKN, Jakarta, aksi serupa juga dilakukan KGB dengan tuntutan antara lain Presiden harus hati-hati dan cermat untuk menandatangani PP Tenaga Honorer yang baru, karena masih banyak permasalahan serta tuntutan agar segera diangkat menjadi PNS. Di Bandung, Jabar, Federasi Guru Honorer Jabar yang beranggotakan 300 guru honorer akan memboikot setiap Pemilu sebagai ekspresi kekecewaan terhadap pemerintah yang hanya bisa berjanji akan mengangkat mereka menjadi PNS. Aksi unjuk rasa dengan tuntutan serupa juga terjadi di beberapa Provinsi antara lain, Jateng, Yogyakarta, Jatim, NTB, Sulsel, Sultra, Sumsel, Sumbar, Kalsel, Kaltim, Kalbar, Papua dan Papua Barat.Aksi unjuk rasa dalam rangka menolak komersialisasi pendidikan terjadi di beberapa daerah. Pada Agustus 2011, di Bundaran SIB, Kota Medan, Sumut, sekitar 20 orang dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dipimpin Ronald melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka menyampaikan pernyataan sikap antara lain, menolak kapitalisasi/komersialisasi pendidikan, pemungutan liar di sektor pendidikan dan menilai rezim SBY-Boediono gagal mewujudkan pendidikan gratis, ilmiah dan bervisi kerakyatan.Sebelumnya, di pertigaan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, sekitar 20 orang aktivis PMII UIN Sunan Kalijaga dipimpin Romel melakukan aksi unjuk rasa menuntut antara lain, penghapusan komersialisasi pendidikan, pertegas Pancasila sebagai falsafah bangsa dan menilai rezim SBY-Boediono telah gagal mewujudkan pendidikan gratis. Sebelum membubarkan diri, pengunjuk rasa melakukan aksi membakar foto SBY-Boediono. Aksi unjuk rasa dengan tuntutan serupa juga terjadi di Samarinda, Kaltim dan Mataram, NTB.Berbagai permasalahan yang masih terjadi dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya persoalan guru honorer yang meminta diangkat sebagai CPNS dan dugaan terjadinya komersialisasi pendidikan, berpotensi untuk mengganggu proses kegiatan belajar mengajar di Indonesia dan dipolitisasi kelompok tertentu dengan mengajak memboikot Pemilu/Pilkada, bahkan mendiskreditkan pemerintah dengan menilainya telah gagal mewujudkan pendidikan yang murah dan berkualitas.Kegiatan politisasi dalam rangka memanfaatkan berbagai permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia diperkirakan masih akan terus terjadi. Penyelesaian terhadap pengangkatan guru honorer menjadi CPNS hendaklah tetap diprioritaskan, terutama mereka yang memenuhi syarat berdasarkan hasil verifikasi dan validasi data tenaga honorer serta sesuai Surat Edaran Menpan No 5 tahun 2010. Disamping itu, perlu ada transparansi dalam pengelolaan dana pendidikan.(Tommy Chang Kautsar dan Satrio DK. Kedua adalah pemerhati masalah sosial budaya. Tinggal di Jakarta).




Pendidikan Karakter yang Beradab
Secara logika pendidikan, aksi kekerasan yang anarkis, tawuran, ketidakdisiplinan, kenakalan dan  bullying yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa di dunia pendidikan tidak mengherankan.Mengapa demikian? Karena antara arah pendidikan yang disusun dalam  UU dan praktek pendidikan di lapangan sangat berbeda. Dalam rancangan Undang Undang Sistem pendidikan no 20 tahun 2003 sangat "indah" sekali yakni menghasilkan lulusan pendidikan yang memiliki kecakapan intelektual beriman, bertqwa, berakhlak dan seterusnya.Tetapi dalam kenyataannya praktek pendidikan mengarahkan anak didik hanya pada kecerdasan intelektual semata. Mereka "dikejar-kejar" untuk sukses ujian nasional (UN). Tiap hari mereka dicekoki sederet rumus-rumus dan pelajaran mnekanistis berupa hafalan dan dilatih hanya dalam tingkatan koginitif tingkat rendah. Sedangkan sisi afeksi dan penanaman nilai etika norma dan moral sangat jauh api dari panggang alias tidak terbukti dalam praktek hanya sebatas jargon tertulis dan semboyan yang enak diucapkan tetapi tidak menjadi perhatian di kelas dan di sekolah.Kita akan lihat pelajar kita stree dan memerlukan penyaluirannya. Maka tak dipungkiri bahwa penyaluran atau katarsis dari problematika pendidikan dan sosial yang dihadapi dan dialami mereka adalah melalui tindakan-tindakan ngawur kontra produktif seperti aksi-aksi kriminal tersebut diatas. Terlebih lagi sikap permisif aparat penegak hukum dan masyarakat atas perbuatan atau perilaku pelajar di depan publik membuat kriminalitas semakin merebak dan menyeruak dikalangan pelajar.  Jika sudah demikian halnya maka kerunyaman pendidikan kita semakin menjadi-jadi.Hal penting yang harus ditata dalam pendidikan kita perubahan menadasar dalam konsep pendidikan kita. Tidak cukup sang Menteri (yang notabene awam tentang ilmu pendidikan) itu Sekolah dituntut agar berhasil dalam UN dengan tingkat kelulusan setinggi-tingginya sementara standarisasi sarana prasaranan tidak merata dan tidak memadai. Lalu, titik tekan pendidikan kita selalau saja berbasis kognitif padahal peneltian menunjukkan bahwa kecerdasan inteletuktual sebagai bagian dari tataran kognitif itu hanya mampu 20% menyumbangkan pembentukan karakter seseorang (pelajar). Sedangkan yang 80% berasal dari "softskills" atau kecakapan insaniyah yang bermuara pada pendidiikan karakter. Lalu pendidikan karakter juga tidak cukup karena memerlukan manusia yang beradab. Tentu karakter manusia Indonesia yang memeiliki nilai ketimuran itu berbeda dengan karakter masyarakat komunis Cina atau Barat yang liberal. Jadi pendidikan kita itu haruslah pendidikan karakter yang beradab dengan nilai-nilai filsafat dasar bangsa kita yang tersemai dalam Pancasila. Menjadikan manusia Indonesia yang adil dan beradab. Ini yang tiudak dimiliki secara khusus oleh negara lain selain kita yang digali dari filsafat bangsa ini oleh the Founding Fathers RI.








Liberalisasi Pendidikan, Siapa yang Diuntungkan?
RANCANGAN Undang-Undang Perguruan Tinggi yang sedang dibahas pemerintah dan DPR saat ini mendapat kritik dari sejumlah kalangan.RUU PT ini terkait dengan pembolehan penyelenggaraan pendidikan asing di Indonesia. Ada beberapa ketentuan yang diatur dalam RUU PT di antaranya, disyaratkan PT asing yang beroperasi di Indonesia harus terakreditasi di negaranya.Selain itu, PT asing di Indonesia wajib bekerja sama dengan penyelenggara PT Indonesia, serta mengikutsertakan dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.Sebenarnya jika dirunut kebelakang, munculnya RUU PT ini merupakan akibat dari bergabungnya Indonesia dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak tahun 1994.Dengan diterbitkannya Undang-Undang No 7 tahun 1994 tanggal 2 November tentang pengesahan (rativikasi) “Agreement Astablising The World Trade” maka Indonesia secara resmi telah menjadi anggota dari WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya telah sah menjadi legaslasi nasional.WTO merupakan badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara dengan prinsip leberalisasi. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang/goods (General Agreement on Tariff and Trade/GATT), Jasa/services (General Agreement on Trade and Services/ GATS), kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of Intellectual Properties/TRIPs) dan Penyelesaian sengketa (Dispute Settlements).Beberapa tahun lalu negara-negara anggota WTO termasuk Indonesia menandatangani General Agreement on Trade and Services (GATS) yang mengatur liberalisasi 12 sektor jasa, salah satu di antaranya adalah leberalisasi pendidikan.Liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model intial offer dan intial request. Setiap negara boleh mengirimkan initial request yaitu daftar sektor jasa yang diinginkan dibuka di negara-negara lain. Negara diwajibkan meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut intial offer.Dalam liberalisasi pendidikan seperti yang dikatakan oleh Prof Dr Sofian Effendi, WTO telah mengidentifikasi 4 mode yaitu, (1) cross-border supply, institusi PT luar negeri menawarkan kuliah melalui internet, (2) consumptions abroad, mahasiswa belajar di PT luar negeri, (3) commersial presence, kehadiran PT luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal, (4) presence of natural persons, pengajar asing mengajar pada PT lokal.Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1993 menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Pada tahun 1993 Australia menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia dari kommersialisasi jasa pendidikan ini, Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah pada tahun 2000, dan Inggris mendapat 4% sumbangan dari ekspor jasa pendidikan. Sehingga tak heran jika liberalisasi pendidikan ini disinyalir berada di belakang kepentingan-kepentingan negara maju. Yang pada akhirnya konsep universal pendidikan sebagai bentuk pelayanan sosial akan berubah menjadi hitungan untung rugi dalam logika bisnis.Sebagai negara yang memiliki 235 juta penduduk, Indonesia ternyata menjadi incaran negara eksportir jasa pendidikan dan pelatihan. Beberapa negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang, China, Korea, dan Selandia Baru telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa pendidikan, yaitu pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan vocational dan profesi. China bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk pendidikan kedokteran China. Yang kemudian terwujud dengan munculnya RUU PT tersebut.Liberalisasi pendidikan merupakan hal yang wajar dalam ranah internasional dan globalisasi saat ini. Di samping itu pula jika dirujuk ke WTO, liberalisasi pendidikan membuka peluang bagi negara anggota WTO untuk saling bersaing dalam pasar pendidikan. Tetapi liberalisasi pasar, merupakan interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena itu interdependesi antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi.Menurut Prof Sofian, pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN yang tergabung dalam Asean Univercity Network (AUN) ataupun Association of Southeast Asia Institute of Higher Learning (ASAIHL), seperti Malaysia, Thailand, Filipina dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi pendidikan tinggi atau mutu akademik.Pada tahun 2004, tingkat partisipasi pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 14%, jauh tertinggal dari Malaysia dan Filipina yang sudah mencapai 38-40%.Sehingga liberalisasi pendidikan jika diterapkan tentu akan merugikan Indonesia karena dari segi kualitas, pendidikan Indonesia masih belum siap untuk bersaing dengan PT asing. Walaupun dengan aturan seperti dalam RUU PT yang kehadiran PT luar negeri dilakukan dengan cara membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal.Di samping itu pula liberalisasi pendidikan yang berorientasi for-profit bertentangan dengan amanat konstitusi yang terkandung dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945 yang menegaskan pemerintah negara Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat Indonesia. Karena itu adalah sangat bijak seandainya pemerintah tidak terburu-buru dalam membuka sektor jasa pendidikan

















Pendidikan Karakter yang Beradab
Secara logika pendidikan, aksi kekerasan yang anarkis, tawuran, ketidakdisiplinan, kenakalan dan  bullying yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa di dunia pendidikan tidak mengherankan.Mengapa demikian? Karena antara arah pendidikan yang disusun dalam  UU dan praktek pendidikan di lapangan sangat berbeda. Dalam rancangan Undang Undang Sistem pendidikan no 20 tahun 2003 sangat "indah" sekali yakni menghasilkan lulusan pendidikan yang memiliki kecakapan intelektual beriman, bertqwa, berakhlak dan seterusnya.Tetapi dalam kenyataannya praktek pendidikan mengarahkan anak didik hanya pada kecerdasan intelektual semata. Mereka "dikejar-kejar" untuk sukses ujian nasional (UN). Tiap hari mereka dicekoki sederet rumus-rumus dan pelajaran mnekanistis berupa hafalan dan dilatih hanya dalam tingkatan koginitif tingkat rendah. Sedangkan sisi afeksi dan penanaman nilai etika norma dan moral sangat jauh api dari panggang alias tidak terbukti dalam praktek hanya sebatas jargon tertulis dan semboyan yang enak diucapkan tetapi tidak menjadi perhatian di kelas dan di sekolah.Kita akan lihat pelajar kita stree dan memerlukan penyaluirannya. Maka tak dipungkiri bahwa penyaluran atau katarsis dari problematika pendidikan dan sosial yang dihadapi dan dialami mereka adalah melalui tindakan-tindakan ngawur kontra produktif seperti aksi-aksi kriminal tersebut diatas. Terlebih lagi sikap permisif aparat penegak hukum dan masyarakat atas perbuatan atau perilaku pelajar di depan publik membuat kriminalitas semakin merebak dan menyeruak dikalangan pelajar.  Jika sudah demikian halnya maka kerunyaman pendidikan kita semakin menjadi-jadi.Hal penting yang harus ditata dalam pendidikan kita perubahan menadasar dalam konsep pendidikan kita. Tidak cukup sang Menteri (yang notabene awam tentang ilmu pendidikan) itu Sekolah dituntut agar berhasil dalam UN dengan tingkat kelulusan setinggi-tingginya sementara standarisasi sarana prasaranan tidak merata dan tidak memadai. Lalu, titik tekan pendidikan kita selalau saja berbasis kognitif padahal peneltian menunjukkan bahwa kecerdasan inteletuktual sebagai bagian dari tataran kognitif itu hanya mampu 20% menyumbangkan pembentukan karakter seseorang (pelajar). Sedangkan yang 80% berasal dari "softskills" atau kecakapan insaniyah yang bermuara pada pendidiikan karakter. Lalu pendidikan karakter juga tidak cukup karena memerlukan manusia yang beradab. Tentu karakter manusia Indonesia yang memeiliki nilai ketimuran itu berbeda dengan karakter masyarakat komunis Cina atau Barat yang liberal. Jadi pendidikan kita itu haruslah pendidikan karakter yang beradab dengan nilai-nilai filsafat dasar bangsa kita yang tersemai dalam Pancasila. Menjadikan manusia Indonesia yang adil dan beradab. Ini yang tiudak dimiliki secara khusus oleh negara lain selain kita yang digali dari filsafat bangsa ini oleh the Founding Fathers RI.









Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemuda Indonesia mempunyai saham besar dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia serta ada dan berkembangnya pendidikan kepramukaan nasional Indonesia. Dalam perkembangan pendidikan kepramukaan itu tampak adanya dorongan dan semangat untuk bersatu, namun terdapat gejala adanya berorganisasi yang Bhinneka.
Organisasi kepramukaan di Indonesia dimulai oleh adanya cabang “Nederlandse Padvinders Organisatie” (NPO) pada tahun 1912, yang pada saat pecahnya Perang Dunia I memiliki kwartir [[besar sendiri serta kemudian berganti nama menjadi “Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging” (NIPV) pada tahun 1916. Organisasi Kepramukaan yang diprakarsai oleh bangsa Indonesia adalah Javaanse Padvinders Organisatie; berdiri atas prakarsa S.P. Mangkunegara VII pada tahun 1916.
Kenyataan bahwa kepramukaan itu senapas dengan pergerakan nasional, seperti tersebut di atas dapat diperhatikan pada adanya “Padvinder Muhammadiyah” yang pada 1920 berganti nama menjadi “Hisbul Wathon” (HW); “Nationale Padvinderij” yang didirikan oleh Budi Utomo; Syarikat Islam mendirikan “Syarikat Islam Afdeling Padvinderij” yang kemudian diganti menjadi “Syarikat Islam Afdeling Pandu” dan lebih dikenal dengan SIAP, Nationale Islamietishe Padvinderij (NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond (JIB) dan Indonesisch Nationale Padvinders Organisatie (INPO) didirikan oleh Pemuda Indonesia. 
Hasrat bersatu bagi organisasi kepramukaan Indonesia waktu itu tampak mulai dengan terbentuknya PAPI yaitu “Persaudaraan Antara Pandu Indonesia” merupakan federasi dari Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP, NATIPIJ dan PPS pada tanggal 23 Mei 1928. Federasi ini tidak dapat bertahan lama, karena niat adanya fusi, akibatnya pada 1930 berdirilah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang dirintis oleh tokoh dari Jong Java Padvinders/Pandu Kebangsaan (JJP/PK), INPO dan PPS (JJP-Jong Java Padvinderij); PK-Pandu Kebangsaan). PAPI kemudian berkembang menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) pada bulan April 1938.
Sejarah gerakan pramuka Indonesia - Antara tahun 1928-1935 bermuncullah gerakan kepramukaan Indonesia baik yang bernafas utama kebangsaan maupun bernafas agama. kepramukaan yang bernafas kebangsaan dapat dicatat Pandu Indonesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK), Sinar Pandu Kita (SPK) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI). Sedangkan yang bernafas agama Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathon, Kepanduan Islam Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma (Kristen), Kepanduan Azas Katholik Indonesia (KAKI), Kepanduan Masehi Indonesia (KMI).
Sebagai upaya untuk menggalang kesatuan dan persatuan, Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia BPPKI merencanakan “All Indonesian Jamboree”. Rencana ini mengalami beberapa perubahan baik dalam waktu pelaksanaan maupun nama kegiatan, yang kemudian disepakati diganti dengan “Perkemahan Kepanduan Indonesia Oemoem” disingkat PERKINO dan dilaksanakan pada tanggal 19-23 Juli 1941 di Yogyakarta. Nah, itulah sekilas mengenai sejarah gerakan pramuka Indonesia mudah-mudahan bermanfaat. 





Berbicara tentangt pendidikan kita semua pasti sudah tahu bahwa betapa pentingnya pendidikan tersebut. Pendidikan, kemampuan, pengetahuan merupakan salah satu modal yang kita miliki untuk hidup di zaman yang serba sulit ini. Mengapa dikatakan demikian?Kita tentu sudah bisa menjawabnya, apa hal pertama yang dilihat bila kita ingin mengajukan surat lamaran perkerjaan? Apa yang kita butuhkan ketika ingin memulai suatu bisnis atau usaha?Tentu saja pendidikan, kemampuan, wawasan dan pengetahuanlah yang kita butuhkan. Di dalam bangku pendidikan banyak sekali hal yang kita dapatkan.Tetapi entah mengapa banyak sekali warga di Indonesia ini yang tidak mengenyam bangku pendidikan sebagaimana mestinya, khususnya di daerah-daerah terpencil di sekitar wilayah Indonesia ini. Sepertinya kesadaran mereka tetang pentingnya pendidikan perlu ditingkatkan.Sebagaimana yang diungkapkan Daoed Joesoef tentang pentingnya pendidikan : “Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia” Dan tentulah dari pernyataan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan.Menjadi bangsa yang maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia. Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara di pengaruhi oleh faktor pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau mundur, karna seperti yang kita ketahui bahwa suatu Pendidikan tentunya akan mencetak Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi dan skill dan pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat mencapai kemajuan.Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik harus dipandang sebagai sebuah kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka tentunya peningkatan mutu pendidikan juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa. Kita ambil contoh Amerika, mereka takkan bisa jadi seperti sekarang ini apabila –maaf– pendidikan mereka setarap dengan kita. Lalu bagaimana dengan Jepang? si ahli Teknologi itu? Jepang sangat menghargai Pendidikan, mereka rela mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk pendidikan bukan untuk kampanye atau hal lain tentang kedudukan seperti yang–maaf– Indonesia lakukan. Tak ubahnya negara lain, seperti Malaysia dan Singapura yang menjadi negara tetangga kita.








Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan


Mengenai masalah pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi, maupun kota dan kabupaten. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global. Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.Sekolah-sekolah gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya, sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar karena sangat memprihatinkan.”






 

Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas


”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.








 

Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan

Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.

Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***



Artikel
Aplikasi Teori Belajar Kultural dalam Pendidikan
Penerapan teori kultural dalam pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu:
1. Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari lingkungan keluarga, dimana anak pertama kali melihat, memahami, mendapatkan pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarganya. Oleh karena itu perkembangan prilaku masing-masing anak akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam keluarga beragam,
misalnya: tingkat pendidikan orang tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.
2. Pendidikan formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:
  • Kurikulum
Khususnya untuk pendidikan di Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai Peraturan Menteri nomor 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP.
Peraturan Menteri nomor 23 tahun 2006 tentang standar kompetensi.
Peraturan Menteri nomor 22 tahun 2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Jelas, bahwa pendidikan di Indonesia memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional melalui beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan kewarganegaraan, Ilmu pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan olah raga.
Pembelajaran menekankan scaffolding satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah
  • Guru
Guru bukanlah narasumber segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih berperanan sebagai fasilitator, mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran dan tutor. Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif siswa sangat diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum muncul secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial pembelajaran.
  • Murid
Dalam pembelajaran KTSP anak mengalami pembelajaran secara langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap bukan sesuatu yang verbal tetapi anak mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu pembelajaran memberikan kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat, dan lingkungannya pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang telah ditetapkan.
3. Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya banyak bermunculan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada anak,
misalnya kursus membatik. Pendidikan ini diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang berkembang di lingkungan sosial masyarakatnya.
Oleh : Astuti Hermawati, S.Pd
SLB Pamardi Putra
Banguntapan, Bantul

Artikel
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhh9we64jtq1uJY8N09HKEUruQpuEbanLrCJCLHYChfbOXoJNBp4IWLqWkgPh6Hj00VFuH5JjbzGORbsvD0PZ-tOEhbhEbUJNVp31xJy1uo69k8ztCg6k4qf1_PZcbqXIMLqhwY0jmwnBbb/s1600/teori+kebutuhan+maslow.jpg
Teori Kebutuhan Maslow
Abraham Maslow mengembangkan teori kepribadian yang telah mempengaruhi sejumlah bidang yang berbeda, termasuk pendidikan. Ini pengaruh luas karena sebagian tingginya tingkat kepraktisan’s teori Maslow. Teori ini akurat menggambarkan realitas banyak dari pengalaman pribadi. Banyak orang menemukan bahwa mereka bisa memahami apa kata Maslow. Mereka dapat mengenali beberapa fitur dari pengalaman mereka atau perilaku yang benar dan dapat diidentifikasi tetapi mereka tidak pernah dimasukkan ke dalam kata-kata.

Maslow telah membuat teori hierarkhi kebutuhan. Semua kebutuhan dasar itu adalah instinctoid, setara dengan naluri pada hewan. Manusia mulai dengan disposisi yang sangat lemah yang kemudian kuno sepenuhnya sebagai orang tumbuh. Bila lingkungan yang benar, orang akan tumbuh lurus dan indah, aktualisasi potensi yang mereka telah mewarisi. Jika lingkungan tidak “benar” (dan kebanyakan tidak ada) mereka tidak akan tumbuh tinggi dan lurus dan indah. Berikut ini lima tingkat kebutuhan menurut teori Maslow.

1. Kebutuhan Fisiologis
Teori kebutuhan Maslow yang pertama adalah kebutuhan biologis. Mereka terdiri dari kebutuhan oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh relatif konstan. Mereka adalah kebutuhan kuat karena jika seseorang tidak diberi semua kebutuhan, fisiologis yang akan datang pertama dalam pencarian seseorang untuk kepuasan.

2. Kebutuhan Keamanan 
Teori kebutuhan Maslow yang berikutnya adalah ketika semua kebutuhan fisiologis puas dan tidak mengendalikan pikiran lagi dan perilaku, kebutuhan keamanan dapat menjadi aktif. Orang dewasa memiliki sedikit kesadaran keamanan mereka kebutuhan kecuali pada saat darurat atau periode disorganisasi dalam struktur sosial (seperti kerusuhan luas). Anak-anak sering menampilkan tanda-tanda rasa tidak aman dan perlu aman.

3. Kebutuhan Cinta, sayang dan kepemilikan
Teori kebutuhan Maslow selanjutnya adalah kebutuhan sosial. Ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan fisiologis puas, kelas berikutnya kebutuhan untuk cinta, sayang dan kepemilikan dapat muncul. Maslow menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi perasaan kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan kedua dan menerima cinta, kasih sayang dan memberikan rasa memiliki.

4. Kebutuhan Esteem
Ketika tiga kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa menjadi dominan. Ini melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk seseorang mendapat penghargaan dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas, berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari orang lain. Ketika kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai orang di dunia. Ketika kebutuhan frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya dan tidak berharga.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Tingkat kebutuhan terakhir adalah ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka dan hanya maka adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri diaktifkan. Maslow menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang perlu untuk menjadi dan melakukan apa yang orang itu “lahir untuk dilakukan.” “Seorang musisi harus bermusik, seniman harus melukis, dan penyair harus menulis.” Kebutuhan ini membuat diri mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan. Orang itu merasa di tepi, tegang, kurang sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar, tidak aman, tidak dicintai atau diterima, atau kurang harga diri, sangat mudah untuk mengetahui apa orang itu gelisah tentang. Hal ini tidak selalu jelas apa yang seseorang ingin ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri. (Source : belajarpsikologi.com)

Sekilas mengenai profile Abraham Maslow
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjRRkQHu85J251OTcVolCFyrkwdp-rvSAOQE4VTxny5IeP0jPTyEkHFpgXPV-N6v9uXDJL6d4ByORfQ8JaucdxAOcIMwRQEC7jVrf1UIYLeZvpGGLigqDmh6YJ68CTTIICpUc4n1xaOxoVz/s200/abraham+maslow.jpgAbraham Maslow lahir 1 April 1908 di Brooklyn, New York, Amerika Serikat. Ia awalnya kuliah di bidang hukum, sebelum akhirnya memilih untuk mempelajari psikologi dan lulus dari Universitas Winconsin. Ia memperoleh gelar PhD pada 1934. Maslow menjadi pelopor aliranpsikologi humanistik yang pada tahun 1950 hingga 1960-an. Ia dikenal sebagai “kekuatan ke-tiga” di samping teori Freud dan behaviorisme. Maslow menjadi profesor di Universitas Brandeis dari 1951 hingga 1969, dan menjadi residentfellow untuk Laughlin Institute of California. Ia meninggal karena serangan jantung pada 8 Juni 1970. Nah, itulah sekilas kutipan mengenai teori kebutuhan Maslow mudah-mudahan bermanfaat bagi pembaca, masih banyak sekali teori kebutuhan menurut ahli lain.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar