Pendidikan, Orang Miskin Silakan Minggir!
SESUAI ketentuan regulator pendidikan (kemendiknas dan
pemda) bahwa pendidikan di tingkat sekolah dasar bebas uang sekolah alias
gratis, tetapi di lapangan tidak bebas dari pungutan.Sudah jadi rahasia umum
bahwa orang tua (ortu) murid selalu dikenakan ketentuan biaya tambahan dengan
dalih macam-macam. Memang pungutan itu secara resmi ditentukan secara
musyawarah melalui komite sekolah atau persatuan ortu murid, tetapi semangat
yang dibangun dalam pertemuan itu adalah berupaya mencari pemasukan dari semua
ortu.Pendidikan yang baik memang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi
dalam musyawarah itu selalu saja membebankan biaya kepada ortu dan tidak pernah
secara kreatif mencari sumber-sumber dana lain seperti kerjasama dengan pihak
industri. Jika kegiatan ini dilakukan tentu tidak akan banyak membebani ortu,
terutama mereka yang kurang mampu membayar pungutan.Bukan rahasia umum lagi
bahwa dunia pendidikan kita sangat mudah dijadikan obyek bisnis bagi sebagian orang.
Ini terlihat mulai dari menjamurnya bimbingan belajar (tes), uang masuk sekolah
yang selangit, hingga digantinya buku-buku pelajaran dengan yang baru.Semua itu
tentu menjadi beban murid (orangtua) unruk membelinya. Pihak sekolah atau
Kementerian Pendidikan seolah menutup mata akan beban orang tua atas biaya
cukup besar saat mereka memasukkan 'buah hatinya' ke sekolah.Sekolah seolah
menutup telinga atas berbagai 'teriakan' dan keluhan orang tua terhadap
banyaknya punglimi (pungutan liar tapi resmi) itu. Seperti biasa tentu pemangku
kebijakan dan pihak penyelenggara pendidikan selalu siap dengan berbagai dalih
jitu yang dapat dianggap sebagai pembenaran munculnya 'proyek' bisnis
tersebut.Alhasil, masyarakat miskin di negara kita makin trauma dan stres jika
memasukkan anaknya ke sekolah karena biaya yang terus membengkak.Kurangnya
empati terhadap penderitaan rakyat merupakan fenomena yang (sudah biasa)
terlihat pada sebagian kalangan berkuasa di negeri ini (pejabat) tatkala
mengeluarkan kebijakan yang tidak bijak itu. Inilah pemandangan yang akrab kita
lihat di berbagai sektor kehidupan.Semua sektor kehidupan di masyarakat pun
akhirnya nyaris ikut meniru atau 'mengcopy paste' nyaris sempurna mentalitas
buruk si penguasa yang tidak empatik tersebut. Jadilah, sektor pendidikan
melalui kalangan yang memiliki wewenang "mengatur" kegiatan
pendidikan turut berperilaku tidak empatik atas penderitaan rakyat miskin.Lebih
jauh lagi,anggota komite sekolah yang berasal dari unsur orang tua umumnya
berasal dari status sosial ekonomi menengah ke atas biasanya juga ikut-ikutan
menyetujui apa yang diajukan pihak sekolah. Lengkaplah sudah sikap dan perilaku
yang tidak memihak rakyat miskin dalam dunia pendidikan kita.Penyelenggaraan
pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah sesuai amanah
konstitusi RI kita, seakan dibiarkan "go public" alias mengikuti
selera pasar bak pebisnis memanfaatkan peluang bisnisnya. Inilah salah satu
efek dari apa yang dinamakan tata pandang neolib dalam pendidikan suatu paham
yang membiarkan pendidikan mengkuti mekanisme pasar bebas. Pendidikan kita
sangat kapitalistik, mereka mengandalkan dana, modal, uang atau kapital.Orang
kaya silakan maju dan menikmati pendidikan, orang miskin silahkan mundur dan
tergusur. Inilah kondisi runyam pendidikan kita dewasa ini yang tak patut
dijadikan contoh bagi generasi penerus pemerintahan.
Karut Marut Dunia Pendidikan
Beberapa permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan
di Indonesia, antara lain tuntutan dari guru berstatus honorer untuk diangkat
menjadi CPNS dan dugaan terjadinya komersialisasi pendidikan. Berlarut-larutnya
penyelesaian masalah ini berpotensi untuk dipolitisasi kelompok tertentu dalam
rangka mendiskreditkan pemerintah.Aksi unjuk rasa kalangan guru honorer
menuntut pengangkatan sebagai CPNS terjadi di beberapa daerah. Di depan Kantor
Badan Kepegawaian Negara (BKN), Jakarta, sekitar 75 orang dari Komite Guru
Bekasi (KGB) dipimpin Muhlis Setia Budi melakukan unjuk rasa pada akhir tahun
2011 dengan tuntutan pengangkatan 80 ribu guru honorer menjadi PNS. Sebelum
membubarkan diri, massa sempat melakukan aksi blokir jalan dan melemparkan
telur busuk ke depan Kantor BKN.Sebelumnya, di depan Kantor BKN, Jakarta, aksi
serupa juga dilakukan KGB dengan tuntutan antara lain Presiden harus hati-hati
dan cermat untuk menandatangani PP Tenaga Honorer yang baru, karena masih
banyak permasalahan serta tuntutan agar segera diangkat menjadi PNS. Di
Bandung, Jabar, Federasi Guru Honorer Jabar yang beranggotakan 300 guru honorer
akan memboikot setiap Pemilu sebagai ekspresi kekecewaan terhadap pemerintah
yang hanya bisa berjanji akan mengangkat mereka menjadi PNS. Aksi unjuk rasa
dengan tuntutan serupa juga terjadi di beberapa Provinsi antara lain, Jateng,
Yogyakarta, Jatim, NTB, Sulsel, Sultra, Sumsel, Sumbar, Kalsel, Kaltim, Kalbar,
Papua dan Papua Barat.Aksi unjuk rasa dalam rangka menolak komersialisasi
pendidikan terjadi di beberapa daerah. Pada Agustus 2011, di Bundaran SIB, Kota
Medan, Sumut, sekitar 20 orang dari Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) dipimpin
Ronald melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka menyampaikan pernyataan sikap
antara lain, menolak kapitalisasi/komersialisasi pendidikan, pemungutan liar di
sektor pendidikan dan menilai rezim SBY-Boediono gagal mewujudkan pendidikan
gratis, ilmiah dan bervisi kerakyatan.Sebelumnya, di pertigaan UIN Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, sekitar 20 orang aktivis PMII UIN Sunan Kalijaga dipimpin
Romel melakukan aksi unjuk rasa menuntut antara lain, penghapusan
komersialisasi pendidikan, pertegas Pancasila sebagai falsafah bangsa dan
menilai rezim SBY-Boediono telah gagal mewujudkan pendidikan gratis. Sebelum
membubarkan diri, pengunjuk rasa melakukan aksi membakar foto SBY-Boediono.
Aksi unjuk rasa dengan tuntutan serupa juga terjadi di Samarinda, Kaltim dan
Mataram, NTB.Berbagai permasalahan yang masih terjadi dalam dunia pendidikan di
Indonesia, khususnya persoalan guru honorer yang meminta diangkat sebagai CPNS
dan dugaan terjadinya komersialisasi pendidikan, berpotensi untuk mengganggu
proses kegiatan belajar mengajar di Indonesia dan dipolitisasi kelompok
tertentu dengan mengajak memboikot Pemilu/Pilkada, bahkan mendiskreditkan
pemerintah dengan menilainya telah gagal mewujudkan pendidikan yang murah dan
berkualitas.Kegiatan politisasi dalam rangka memanfaatkan berbagai permasalahan
dalam dunia pendidikan di Indonesia diperkirakan masih akan terus terjadi.
Penyelesaian terhadap pengangkatan guru honorer menjadi CPNS hendaklah tetap
diprioritaskan, terutama mereka yang memenuhi syarat berdasarkan hasil verifikasi
dan validasi data tenaga honorer serta sesuai Surat Edaran Menpan No 5 tahun
2010. Disamping itu, perlu ada transparansi dalam pengelolaan dana
pendidikan.(Tommy Chang Kautsar dan Satrio DK. Kedua adalah pemerhati masalah
sosial budaya. Tinggal di Jakarta).
Pendidikan Karakter yang Beradab
Secara logika pendidikan, aksi kekerasan yang anarkis,
tawuran, ketidakdisiplinan, kenakalan dan bullying yang dilakukan oleh
pelajar dan mahasiswa di dunia pendidikan tidak mengherankan.Mengapa demikian?
Karena antara arah pendidikan yang disusun dalam UU dan praktek
pendidikan di lapangan sangat berbeda. Dalam rancangan Undang Undang Sistem
pendidikan no 20 tahun 2003 sangat "indah" sekali yakni menghasilkan
lulusan pendidikan yang memiliki kecakapan intelektual beriman, bertqwa,
berakhlak dan seterusnya.Tetapi dalam kenyataannya praktek pendidikan
mengarahkan anak didik hanya pada kecerdasan intelektual semata. Mereka
"dikejar-kejar" untuk sukses ujian nasional (UN). Tiap hari mereka
dicekoki sederet rumus-rumus dan pelajaran mnekanistis berupa hafalan dan
dilatih hanya dalam tingkatan koginitif tingkat rendah. Sedangkan sisi afeksi
dan penanaman nilai etika norma dan moral sangat jauh api dari panggang alias
tidak terbukti dalam praktek hanya sebatas jargon tertulis dan semboyan yang
enak diucapkan tetapi tidak menjadi perhatian di kelas dan di sekolah.Kita akan
lihat pelajar kita stree dan memerlukan penyaluirannya. Maka tak dipungkiri
bahwa penyaluran atau katarsis dari problematika pendidikan dan sosial yang
dihadapi dan dialami mereka adalah melalui tindakan-tindakan ngawur kontra
produktif seperti aksi-aksi kriminal tersebut diatas. Terlebih lagi sikap
permisif aparat penegak hukum dan masyarakat atas perbuatan atau perilaku
pelajar di depan publik membuat kriminalitas semakin merebak dan menyeruak
dikalangan pelajar. Jika sudah demikian halnya maka kerunyaman pendidikan
kita semakin menjadi-jadi.Hal penting yang harus ditata dalam pendidikan kita
perubahan menadasar dalam konsep pendidikan kita. Tidak cukup sang Menteri
(yang notabene awam tentang ilmu pendidikan) itu Sekolah dituntut agar berhasil
dalam UN dengan tingkat kelulusan setinggi-tingginya sementara standarisasi
sarana prasaranan tidak merata dan tidak memadai. Lalu, titik tekan pendidikan kita
selalau saja berbasis kognitif padahal peneltian menunjukkan bahwa kecerdasan
inteletuktual sebagai bagian dari tataran kognitif itu hanya mampu 20%
menyumbangkan pembentukan karakter seseorang (pelajar). Sedangkan yang 80%
berasal dari "softskills" atau kecakapan insaniyah yang bermuara pada
pendidiikan karakter. Lalu pendidikan karakter juga tidak cukup karena
memerlukan manusia yang beradab. Tentu karakter manusia Indonesia yang
memeiliki nilai ketimuran itu berbeda dengan karakter masyarakat komunis Cina
atau Barat yang liberal. Jadi pendidikan kita itu haruslah pendidikan karakter
yang beradab dengan nilai-nilai filsafat dasar bangsa kita yang tersemai dalam
Pancasila. Menjadikan manusia Indonesia yang adil dan beradab. Ini yang tiudak
dimiliki secara khusus oleh negara lain selain kita yang digali dari filsafat
bangsa ini oleh the Founding Fathers RI.
Liberalisasi Pendidikan, Siapa yang Diuntungkan?
RANCANGAN
Undang-Undang Perguruan Tinggi yang sedang dibahas pemerintah dan DPR saat ini
mendapat kritik dari sejumlah kalangan.RUU PT ini terkait dengan pembolehan
penyelenggaraan pendidikan asing di Indonesia. Ada beberapa ketentuan yang
diatur dalam RUU PT di antaranya, disyaratkan PT asing yang beroperasi di
Indonesia harus terakreditasi di negaranya.Selain itu, PT asing di Indonesia
wajib bekerja sama dengan penyelenggara PT Indonesia, serta mengikutsertakan
dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.Sebenarnya jika dirunut
kebelakang, munculnya RUU PT ini merupakan akibat dari bergabungnya Indonesia
dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sejak tahun 1994.Dengan diterbitkannya
Undang-Undang No 7 tahun 1994 tanggal 2 November tentang pengesahan
(rativikasi) “Agreement Astablising The World Trade” maka Indonesia secara
resmi telah menjadi anggota dari WTO dan semua persetujuan yang ada di dalamnya
telah sah menjadi legaslasi nasional.WTO merupakan badan internasional yang
secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara dengan prinsip
leberalisasi. Persetujuan-persetujuan dalam WTO mencakup barang/goods (General
Agreement on Tariff and Trade/GATT), Jasa/services (General Agreement on Trade
and Services/ GATS), kepemilikan intelektual (Trade-Related Aspects of
Intellectual Properties/TRIPs) dan Penyelesaian sengketa (Dispute
Settlements).Beberapa tahun lalu negara-negara anggota WTO termasuk Indonesia
menandatangani General Agreement on Trade and Services (GATS) yang mengatur
liberalisasi 12 sektor jasa, salah satu di antaranya adalah leberalisasi
pendidikan.Liberalisasi jasa dalam GATS dilakukan dengan model intial offer dan
intial request. Setiap negara boleh mengirimkan initial request yaitu daftar
sektor jasa yang diinginkan dibuka di negara-negara lain. Negara diwajibkan
meliberalisasi sektor-sektor tertentu yang dipilihnya sendiri atau disebut
intial offer.Dalam liberalisasi pendidikan seperti yang dikatakan oleh Prof Dr
Sofian Effendi, WTO telah mengidentifikasi 4 mode yaitu, (1) cross-border
supply, institusi PT luar negeri menawarkan kuliah melalui internet, (2)
consumptions abroad, mahasiswa belajar di PT luar negeri, (3) commersial
presence, kehadiran PT luar negeri dengan membentuk partnership, subsidiary,
twinning arrangement dengan PT lokal, (4) presence of natural persons, pengajar
asing mengajar pada PT lokal.Sebuah survei yang diadakan pada tahun 1993
menunjukkan bahwa industri jasa yang paling menonjol orientasi ekspornya adalah
jasa komputasi, pendidikan dan pelatihan. Pada tahun 1993 Australia
menghasilkan 1,2 miliar dolar Australia dari kommersialisasi jasa pendidikan
ini, Amerika mencapai USD 14 miliar atau 126 triliun rupiah pada tahun 2000,
dan Inggris mendapat 4% sumbangan dari ekspor jasa pendidikan. Sehingga tak
heran jika liberalisasi pendidikan ini disinyalir berada di belakang
kepentingan-kepentingan negara maju. Yang pada akhirnya konsep universal
pendidikan sebagai bentuk pelayanan sosial akan berubah menjadi hitungan untung
rugi dalam logika bisnis.Sebagai negara yang memiliki 235 juta penduduk,
Indonesia ternyata menjadi incaran negara eksportir jasa pendidikan dan
pelatihan. Beberapa negara seperti Australia, Amerika Serikat, Jepang, China,
Korea, dan Selandia Baru telah meminta Indonesia untuk membuka sektor jasa
pendidikan, yaitu pendidikan tinggi, pendidikan seumur hayat, dan pendidikan
vocational dan profesi. China bahkan minta Indonesia membuka pintu untuk
pendidikan kedokteran China. Yang kemudian terwujud dengan munculnya RUU PT
tersebut.Liberalisasi pendidikan merupakan hal yang wajar dalam ranah
internasional dan globalisasi saat ini. Di samping itu pula jika dirujuk ke
WTO, liberalisasi pendidikan membuka peluang bagi negara anggota WTO untuk
saling bersaing dalam pasar pendidikan. Tetapi liberalisasi pasar, merupakan
interdependensi yang tidak simetris antarnegara, lembaga, dan aktornya. Karena
itu interdependesi antar negara yang seperti tersebut lebih menguntungkan
negara yang memiliki keunggulan ekonomi dan teknologi.Menurut Prof Sofian,
pendidikan Indonesia dibandingkan dengan negara-negara anggota ASEAN yang
tergabung dalam Asean Univercity Network (AUN) ataupun Association of Southeast
Asia Institute of Higher Learning (ASAIHL), seperti Malaysia, Thailand,
Filipina dan Singapura, Indonesia jauh tertinggal dalam tingkat partisipasi
pendidikan tinggi atau mutu akademik.Pada tahun 2004, tingkat partisipasi
pendidikan tinggi Indonesia baru mencapai 14%, jauh tertinggal dari Malaysia
dan Filipina yang sudah mencapai 38-40%.Sehingga liberalisasi pendidikan jika
diterapkan tentu akan merugikan Indonesia karena dari segi kualitas, pendidikan
Indonesia masih belum siap untuk bersaing dengan PT asing. Walaupun dengan
aturan seperti dalam RUU PT yang kehadiran PT luar negeri dilakukan dengan cara
membentuk partnership, subsidiary, twinning arrangement dengan PT lokal.Di
samping itu pula liberalisasi pendidikan yang berorientasi for-profit
bertentangan dengan amanat konstitusi yang terkandung dalam alinea keempat
pembukaan UUD 1945 yang menegaskan pemerintah negara Indonesia berkewajiban
untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.Dalam UUD
1945 pasal 31 ayat 1 dan 2 ditegaskan bahwa pendidikan adalah hak seluruh rakyat
Indonesia. Karena itu adalah sangat bijak seandainya pemerintah tidak
terburu-buru dalam membuka sektor jasa pendidikan
Pendidikan Karakter yang Beradab
Secara
logika pendidikan, aksi kekerasan yang anarkis, tawuran, ketidakdisiplinan,
kenakalan dan bullying yang dilakukan oleh pelajar dan mahasiswa di dunia
pendidikan tidak mengherankan.Mengapa demikian? Karena antara arah pendidikan
yang disusun dalam UU dan praktek pendidikan di lapangan sangat berbeda.
Dalam rancangan Undang Undang Sistem pendidikan no 20 tahun 2003 sangat
"indah" sekali yakni menghasilkan lulusan pendidikan yang memiliki
kecakapan intelektual beriman, bertqwa, berakhlak dan seterusnya.Tetapi dalam
kenyataannya praktek pendidikan mengarahkan anak didik hanya pada kecerdasan
intelektual semata. Mereka "dikejar-kejar" untuk sukses ujian
nasional (UN). Tiap hari mereka dicekoki sederet rumus-rumus dan pelajaran
mnekanistis berupa hafalan dan dilatih hanya dalam tingkatan koginitif tingkat rendah.
Sedangkan sisi afeksi dan penanaman nilai etika norma dan moral sangat jauh api
dari panggang alias tidak terbukti dalam praktek hanya sebatas jargon tertulis
dan semboyan yang enak diucapkan tetapi tidak menjadi perhatian di kelas dan di
sekolah.Kita akan lihat pelajar kita stree dan memerlukan penyaluirannya. Maka
tak dipungkiri bahwa penyaluran atau katarsis dari problematika pendidikan dan
sosial yang dihadapi dan dialami mereka adalah melalui tindakan-tindakan ngawur
kontra produktif seperti aksi-aksi kriminal tersebut diatas. Terlebih lagi
sikap permisif aparat penegak hukum dan masyarakat atas perbuatan atau perilaku
pelajar di depan publik membuat kriminalitas semakin merebak dan menyeruak
dikalangan pelajar. Jika sudah demikian halnya maka kerunyaman pendidikan
kita semakin menjadi-jadi.Hal penting yang harus ditata dalam pendidikan kita
perubahan menadasar dalam konsep pendidikan kita. Tidak cukup sang Menteri
(yang notabene awam tentang ilmu pendidikan) itu Sekolah dituntut agar berhasil
dalam UN dengan tingkat kelulusan setinggi-tingginya sementara standarisasi
sarana prasaranan tidak merata dan tidak memadai. Lalu, titik tekan pendidikan
kita selalau saja berbasis kognitif padahal peneltian menunjukkan bahwa
kecerdasan inteletuktual sebagai bagian dari tataran kognitif itu hanya mampu
20% menyumbangkan pembentukan karakter seseorang (pelajar). Sedangkan yang 80%
berasal dari "softskills" atau kecakapan insaniyah yang bermuara pada
pendidiikan karakter. Lalu pendidikan karakter juga tidak cukup karena memerlukan
manusia yang beradab. Tentu karakter manusia Indonesia yang memeiliki nilai
ketimuran itu berbeda dengan karakter masyarakat komunis Cina atau Barat yang
liberal. Jadi pendidikan kita itu haruslah pendidikan karakter yang beradab
dengan nilai-nilai filsafat dasar bangsa kita yang tersemai dalam Pancasila.
Menjadikan manusia Indonesia yang adil dan beradab. Ini yang tiudak dimiliki
secara khusus oleh negara lain selain kita yang digali dari filsafat bangsa ini
oleh the Founding Fathers RI.
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemuda Indonesia mempunyai saham besar
dalam pergerakan perjuangan kemerdekaan Indonesia serta ada dan berkembangnya
pendidikan kepramukaan nasional Indonesia. Dalam perkembangan pendidikan
kepramukaan itu tampak adanya dorongan dan semangat untuk bersatu, namun
terdapat gejala adanya berorganisasi yang Bhinneka.
Organisasi kepramukaan di Indonesia dimulai oleh adanya cabang “Nederlandse
Padvinders Organisatie” (NPO) pada tahun 1912, yang pada saat pecahnya Perang
Dunia I memiliki kwartir [[besar sendiri serta kemudian berganti nama menjadi
“Nederlands-Indische Padvinders Vereeniging” (NIPV) pada tahun
1916. Organisasi Kepramukaan yang diprakarsai oleh bangsa Indonesia adalah
Javaanse Padvinders Organisatie; berdiri atas prakarsa S.P. Mangkunegara VII
pada tahun 1916.
Kenyataan bahwa kepramukaan itu senapas dengan pergerakan nasional, seperti
tersebut di atas dapat diperhatikan pada adanya “Padvinder Muhammadiyah” yang
pada 1920 berganti nama menjadi “Hisbul Wathon” (HW); “Nationale Padvinderij”
yang didirikan oleh Budi Utomo; Syarikat Islam mendirikan “Syarikat Islam
Afdeling Padvinderij” yang kemudian diganti menjadi “Syarikat Islam Afdeling
Pandu” dan lebih dikenal dengan SIAP, Nationale Islamietishe Padvinderij
(NATIPIJ) didirikan oleh Jong Islamieten Bond (JIB) dan Indonesisch Nationale
Padvinders Organisatie (INPO) didirikan oleh Pemuda Indonesia.
Hasrat bersatu bagi organisasi kepramukaan Indonesia waktu itu tampak mulai
dengan terbentuknya PAPI yaitu “Persaudaraan Antara Pandu Indonesia” merupakan
federasi dari Pandu Kebangsaan, INPO, SIAP, NATIPIJ dan PPS pada tanggal 23 Mei
1928. Federasi ini tidak dapat bertahan lama, karena niat adanya fusi,
akibatnya pada 1930 berdirilah Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI) yang dirintis
oleh tokoh dari Jong Java Padvinders/Pandu Kebangsaan (JJP/PK), INPO dan PPS
(JJP-Jong Java Padvinderij); PK-Pandu Kebangsaan). PAPI kemudian
berkembang menjadi Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia (BPPKI) pada
bulan April 1938.
Sejarah gerakan pramuka Indonesia - Antara tahun 1928-1935 bermuncullah
gerakan kepramukaan Indonesia baik yang bernafas utama kebangsaan
maupun bernafas agama. kepramukaan yang bernafas kebangsaan dapat dicatat Pandu
Indonesia (PI), Padvinders Organisatie Pasundan (POP), Pandu Kesultanan (PK),
Sinar Pandu Kita (SPK) dan Kepanduan Rakyat Indonesia (KRI). Sedangkan yang
bernafas agama Pandu Ansor, Al Wathoni, Hizbul Wathon, Kepanduan Islam
Indonesia (KII), Islamitische Padvinders Organisatie (IPO), Tri Darma
(Kristen), Kepanduan Azas Katholik Indonesia (KAKI), Kepanduan Masehi Indonesia
(KMI).
Sebagai upaya untuk menggalang kesatuan dan persatuan, Badan Pusat
Persaudaraan Kepanduan Indonesia BPPKI merencanakan “All Indonesian Jamboree”.
Rencana ini mengalami beberapa perubahan baik dalam waktu pelaksanaan maupun
nama kegiatan, yang kemudian disepakati diganti dengan “Perkemahan Kepanduan
Indonesia Oemoem” disingkat PERKINO dan dilaksanakan pada tanggal 19-23 Juli
1941 di Yogyakarta. Nah, itulah sekilas mengenai sejarah gerakan pramuka
Indonesia mudah-mudahan bermanfaat.
Berbicara tentangt pendidikan kita
semua pasti sudah tahu bahwa betapa pentingnya
pendidikan tersebut. Pendidikan, kemampuan, pengetahuan merupakan salah satu modal
yang kita miliki untuk hidup di zaman yang serba sulit ini. Mengapa dikatakan
demikian?Kita tentu sudah bisa menjawabnya, apa hal pertama yang dilihat bila
kita ingin mengajukan surat lamaran perkerjaan? Apa yang kita butuhkan ketika
ingin memulai suatu bisnis atau usaha?Tentu saja pendidikan, kemampuan, wawasan
dan pengetahuanlah yang kita butuhkan. Di dalam bangku pendidikan banyak sekali
hal yang kita dapatkan.Tetapi entah mengapa banyak sekali warga di Indonesia
ini yang tidak mengenyam bangku pendidikan sebagaimana mestinya, khususnya di
daerah-daerah terpencil di sekitar wilayah Indonesia ini. Sepertinya kesadaran
mereka tetang pentingnya
pendidikan perlu ditingkatkan.Sebagaimana yang diungkapkan Daoed Joesoef tentang pentingnya
pendidikan : “Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan, dalam memilih dan
membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia” Dan tentulah dari
pernyataan tersebut kita bisa mengambil kesimpulan bahwa Pendidikan merupakan
hal yang sangat penting dan tidak bisa lepas dari kehidupan.Menjadi bangsa yang
maju tentu merupakan cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap negara di dunia.
Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu negara di
pengaruhi oleh faktor pendidikan. Begitu pentingnya
pendidikan, sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau mundur,
karna seperti yang kita ketahui bahwa suatu Pendidikan tentunya akan mencetak
Sumber Daya Manusia yang berkualitas baik dari segi spritual, intelegensi dan
skill dan pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila
output dari proses pendidikan ini gagal maka sulit dibayangkan bagaimana dapat
mencapai kemajuan.Bagi suatu bangsa yang ingin maju, pendidik harus dipandang
sebagai sebuah kebutuhan sama halnya dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Maka
tentunya peningkatan
mutu pendidikan juga berpengaruh terhadap perkembangan suatu bangsa.
Kita ambil contoh Amerika, mereka takkan bisa jadi seperti sekarang ini apabila
–maaf– pendidikan mereka setarap dengan kita. Lalu bagaimana dengan Jepang? si
ahli Teknologi itu? Jepang sangat menghargai Pendidikan, mereka rela
mengeluarkan dana yang sangat besar hanya untuk pendidikan bukan untuk kampanye
atau hal lain tentang kedudukan seperti yang–maaf– Indonesia lakukan. Tak
ubahnya negara lain, seperti Malaysia dan Singapura yang menjadi negara tetangga
kita.
Pemerintah dan Solusi Permasalahan Pendidikan
Mengenai masalah
pedidikan, perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini
tercermin dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa
masih rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan
aturan UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita
kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya
rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi,
maupun kota dan kabupaten. Penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya
dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan
yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada
kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia
dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib
Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan
yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak
memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib
belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang
putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan
kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit
bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi
bertahan pada kompetisi di era global. Kondisi ideal dalam bidang pendidikan di
Indonesia adalah tiap anak bisa sekolah minimal hingga tingkat SMA tanpa
membedakan status karena itulah hak mereka. Namun hal tersebut sangat sulit
untuk direalisasikan pada saat ini. Oleh karena itu, setidaknya setiap orang
memiliki kesempatan yang sama untuk mengenyam dunia pendidikan. Jika mencermati
permasalahan di atas, terjadi sebuah ketidakadilan antara si kaya dan si
miskin. Seolah sekolah hanya milik orang kaya saja sehingga orang yang
kekurangan merasa minder untuk bersekolah dan bergaul dengan mereka. Ditambah
lagi publikasi dari sekolah mengenai beasiswa sangatlah minim.Sekolah-sekolah
gratis di Indonesia seharusnya memiliki fasilitas yang memadai, staf pengajar
yang berkompetensi, kurikulum yang tepat, dan memiliki sistem administrasi dan
birokrasi yang baik dan tidak berbelit-belit. Akan tetapi, pada kenyataannya,
sekolah-sekolah gratis adalah sekolah yang terdapat di daerah terpencil yang
kumuh dan segala sesuatunya tidak dapat menunjang bangku persekolahan sehingga
timbul pertanyaan ,”Benarkah sekolah tersebut gratis? Kalaupun iya, ya wajar
karena sangat memprihatinkan.”
Penyelenggaraan Pendidikan yang Berkualitas
”Pendidikan bermutu itu mahal”. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, — sampai Rp 1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS di Indonesia pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana. Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu disyaratkan adanya unsur pengusaha. Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya, setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang kadang berkedok, “sesuai keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan pendidikan rakyatnya.Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan perubahan status itu pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi dan Swastanisasi Sektor Pendidikan
Privatisasi
atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas
dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar
negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan
faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap
pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong
hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang
dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang
yang menguras 25% belanja dalam APBN (www.kau.or.id). Rencana Pemerintah
memprivatisasi pendidikan dilegitimasi melalui sejumlah peraturan, seperti
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan
Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP
tentang Wajib Belajar. Penguatan pada privatisasi pendidikan itu, misalnya,
terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan
pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk
badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia, privatisasi pendidikan merupakan agenda kapitalisme global yang telah dirancang sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), pemerintah berencana memprivatisasi pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan (BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di Indonesia. Di Jerman, Perancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah. Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya? Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan bagi Pemerintah untuk cuci tangan.***
Artikel
Aplikasi Teori Belajar Kultural dalam Pendidikan
Penerapan teori kultural dalam
pendidikan dapat terjadi pada 3 jenis pendidikan yaitu:
1. Pendidikan informal (keluarga)
Pendidikan anak dimulai dari
lingkungan keluarga, dimana anak pertama kali melihat, memahami, mendapatkan
pengetahuan, sikap dari lingkungan keluarganya. Oleh karena itu perkembangan
prilaku masing-masing anak akan berbeda manakala berasal dari keluarga yang
berbeda, karena faktor yang mempengaruhi perkembangan anak dalam keluarga
beragam,
misalnya: tingkat pendidikan orang
tua, faktor ekonomi keluarga, keharmonisan dalam keluarga dan sebagainya.
2. Pendidikan formal
Aplikasi teori sosio-kultural pada
pendidikan formal dapat dilihat dari beberapa segi antara lain:
- Kurikulum
Khususnya untuk pendidikan di
Indonesia pemberlakuan kurikulum pendidikan sesuai Peraturan Menteri nomor 24
tahun 2006 tentang pelaksanaan KTSP.
Peraturan Menteri nomor 23 tahun
2006 tentang standar kompetensi.
Peraturan Menteri nomor 22 tahun
2006 tentang standar kompetensi dan kompetensi dasar.
Jelas, bahwa pendidikan di Indonesia
memberikan pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap kepada anak untuk
mempelajari sosio-kultural masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional
melalui beberapa mata pelajaran yang telah ditetapkan, di antaranya: pendidikan
kewarganegaraan, Ilmu pengetahuan sosial, muatan lokal, kesenian, dan
olah raga.
Pembelajaran menekankan scaffolding
satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran
kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial
yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam
usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah
- Guru
Guru bukanlah narasumber
segala-galanya, tetapi dalam pembelajaran lebih berperanan sebagai fasilitator,
mediator, motivator, evaluator, desainer pembelajaran dan tutor.
Masih banyak peran yang lain, oleh karenanya dalam pembelajaran ini peran aktif
siswa sangat diharapkan, sedangkan guru membantu perilaku siswa yang belum
muncul secara mandiri dalam bentuk pengayaan, remedial pembelajaran.
- Murid
Dalam pembelajaran KTSP anak
mengalami pembelajaran secara langsung ataupun melalui rekaman. Oleh sebab itu
pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap bukan sesuatu yang verbal
tetapi anak mengalami pembelajaran secara langsung. Selain itu
pembelajaran memberikan kebebasan anak untuk berkembang sesuai bakat, minat,
dan lingkungannya pencapaiannya sesuai standar kompetensi yang telah
ditetapkan.
3. Pendidikan nonformal
Pendidikan nonformal yang berbasis budaya
banyak bermunculan untuk memberikan pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku pada
anak,
misalnya kursus membatik. Pendidikan
ini diberikan untuk membekali anak hal-hal tradisi yang berkembang di
lingkungan sosial masyarakatnya.
Oleh : Astuti Hermawati, S.Pd
SLB Pamardi Putra
Banguntapan, Bantul
Artikel

Teori Kebutuhan Maslow
Abraham Maslow
mengembangkan teori kepribadian yang telah mempengaruhi sejumlah bidang yang
berbeda, termasuk pendidikan. Ini pengaruh luas karena sebagian tingginya
tingkat kepraktisan’s teori Maslow. Teori ini akurat menggambarkan realitas
banyak dari pengalaman pribadi. Banyak orang menemukan bahwa mereka bisa
memahami apa kata Maslow. Mereka dapat mengenali beberapa fitur dari pengalaman
mereka atau perilaku yang benar dan dapat diidentifikasi tetapi mereka tidak pernah
dimasukkan ke dalam kata-kata.
Maslow telah
membuat teori hierarkhi kebutuhan. Semua kebutuhan dasar itu adalah
instinctoid, setara dengan naluri pada hewan. Manusia mulai dengan disposisi
yang sangat lemah yang kemudian kuno sepenuhnya sebagai orang tumbuh. Bila
lingkungan yang benar, orang akan tumbuh lurus dan indah, aktualisasi potensi
yang mereka telah mewarisi. Jika lingkungan tidak “benar” (dan kebanyakan tidak
ada) mereka tidak akan tumbuh tinggi dan lurus dan indah. Berikut ini lima
tingkat kebutuhan menurut teori Maslow.
1. Kebutuhan Fisiologis
Teori kebutuhan
Maslow yang pertama adalah kebutuhan biologis. Mereka terdiri dari kebutuhan
oksigen, makanan, air, dan suhu tubuh relatif konstan. Mereka adalah kebutuhan
kuat karena jika seseorang tidak diberi semua kebutuhan, fisiologis yang akan
datang pertama dalam pencarian seseorang untuk kepuasan.
2. Kebutuhan Keamanan
Teori kebutuhan Maslow yang berikutnya adalah ketika semua kebutuhan fisiologis puas dan tidak
mengendalikan pikiran lagi dan perilaku, kebutuhan keamanan dapat menjadi
aktif. Orang dewasa memiliki sedikit kesadaran keamanan mereka kebutuhan
kecuali pada saat darurat atau periode disorganisasi dalam struktur sosial
(seperti kerusuhan luas). Anak-anak sering menampilkan tanda-tanda rasa tidak
aman dan perlu aman.
3. Kebutuhan Cinta, sayang dan kepemilikan
Teori kebutuhan
Maslow selanjutnya
adalah kebutuhan sosial. Ketika kebutuhan untuk keselamatan dan kesejahteraan
fisiologis puas, kelas berikutnya kebutuhan untuk cinta, sayang dan kepemilikan
dapat muncul. Maslow menyatakan bahwa orang mencari untuk mengatasi perasaan
kesepian dan keterasingan. Ini melibatkan kedua dan menerima cinta, kasih
sayang dan memberikan rasa memiliki.
4. Kebutuhan Esteem
Ketika tiga
kelas pertama kebutuhan dipenuhi, kebutuhan untuk harga bisa menjadi dominan.
Ini melibatkan kebutuhan baik harga diri dan untuk seseorang mendapat
penghargaan dari orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk tegas,
berdasarkan, tingkat tinggi stabil diri, dan rasa hormat dari orang lain.
Ketika kebutuhan ini terpenuhi, orang merasa percaya diri dan berharga sebagai
orang di dunia. Ketika kebutuhan frustrasi, orang merasa rendah, lemah, tak berdaya
dan tidak berharga.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri
Tingkat
kebutuhan terakhir adalah ketika semua kebutuhan di atas terpenuhi, maka dan
hanya maka adalah kebutuhan untuk aktualisasi diri diaktifkan. Maslow
menggambarkan aktualisasi diri sebagai orang perlu untuk menjadi dan melakukan
apa yang orang itu “lahir untuk dilakukan.” “Seorang musisi harus bermusik,
seniman harus melukis, dan penyair harus menulis.” Kebutuhan ini membuat diri
mereka merasa dalam tanda-tanda kegelisahan. Orang itu merasa di tepi, tegang,
kurang sesuatu, singkatnya, gelisah. Jika seseorang lapar, tidak aman, tidak
dicintai atau diterima, atau kurang harga diri, sangat mudah untuk mengetahui
apa orang itu gelisah tentang. Hal ini tidak selalu jelas apa yang seseorang
ingin ketika ada kebutuhan untuk aktualisasi diri. (Source :
belajarpsikologi.com)
Sekilas mengenai profile Abraham Maslow

Tidak ada komentar:
Posting Komentar